UNICEF


Siang itu, Rabu, 11 Juni 2014, baru pukul 14.00. Empat orang berkaus biru di warung sate Rembiga sedang menata perapen--tungku panjang untuk membakar sate. Rahmi sudah masuk ke warung itu. Ia hendak membeli 15 tusuk sate untuk dibawa pulang. Adapun Wini mengajak tiga anaknya untuk makan di tempat. Mereka memilih brugak--tempat duduk suku Sasak di Lombok. "Rasanya enak, manis-pedas," kata Wini, yang sering mengajak anak-anaknya makan di sana.


Warung Hajah Sinasih, 44 tahun, di Jalan Wahidin, Rembiga, Mataram, itu sudah cukup terkenal. Di sana ada menu sate bantengan. Karena dipopulerkan Sinasih sejak 30-an tahun lalu dan menjadi jualannya, sate itu pun sehari-hari disebut sate Rembiga.

Daging sapi, bahkan daging kuda atau daging kerbau, bisa dijadikan bahan sate bantengan. Sinasih memilih daging lulur yang baik. Bumbu satenya terdiri atas bawang putih, cabai merah besar kering, bawang putih, kemiri, gula merah, dan gula putih. Sinasih tidak mencampurnya dengan santan seperti yang kerap dilakukan orang lain. "Sebelum dibakar, sate itu diaduk terlebih dahulu ke bumbu tersebut," ujarnya di sela menyiapkan bumbu di dapur berukuran 4 x 6 meter di rumahnya yang berada di dalam gang di Dasan Lekong.

Pada musim liburan atau selama bulan puasa, sehari ia bisa menjual hingga sekitar 9.000 tusuk dari 90 kilogram daging. Satu tusuknya seharga Rp 1.500. "Kalau liburan, banyak orang Jakarta yang singgah di sini," tuturnya. Antara lain adalah Andi Alfian Malarangeng sewaktu menjabat Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, aktor Dony Kusuma, Dony Damara, dan presenter kuliner televisi nasional, Bondan Winarno. Tempo.co

0 comments :

Posting Komentar

 
Top